Disore yang gerimis Bejo sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Terkadang mata memandang jauh kedepan begitu dalam. Sesekali ia menunduk mencorat coret kertas dimejanya. Bejo juga kadang kala tersenyum kecil, lalu terkikik entah sedang menertawakan apa. Sering kali pula ekspresi wajahnya berubah geram dan marah.

Hampir satu jam Bejo duduk dan menulis sesuatu. Mejanya pun dipenuhi sobekan kertas yang berserakan. Sore itu, tampak Bejo sangat serius sekali. Padahal, biasanya ia hanya duduk manis menikmati kopi sambil memandangi langit yang gerimis. Sepertinya ia mendapatkan bisikan wangsit. Sehingga, ia sangat-sangat sibuk sekali. Sampai-sampai ia tak mendengar adiknya menawari kopi.

Sekian lama akhirnya, Bejo berdiri dari tempat duduknya. Tangan kanannya mengepal dan tangan kiri memegang gulungan kertas. Ia pun berbicara sendiri. "Ini untukmu, Ki Lurah", kata Bejo dengan sangat yakin.

Bejo langsung bergegas mengambil tangga bambu dibelakang rumah. Ia pikul sendiri ke depan rumah. Didepan rumah, plek... Tangga disandarkan diemperan. Dengan hati-hati, sangat hati-hati ia meniti anak tangga.

Sampailah, Bejo diatas genteng. Ia berdiri, posisi kedua tangannya diatas. "Ini untukmu, Ki Lurah...!!!", ia berteriak lantang. Spontan tetangga -tetangganya yang tadi bermalas-malasan dalam rumah dengan terburu-buru keluar. "Ada apa ini?",  pikiran mereka bertanya. Namun, setelah mereka tahu sumber suara itu dari Bejo, maka semua tetangganya kembali masuk rumah. "Wooo.. alah-alah, Bejo lagi, Bejo lagi. Orang koq suka bikin gaduh saja kerjaannya", salah seorang tetangga bergumam melihat tingkah Bejo.

Aksi Bejo tetap dilanjutkan. Mau tidak ada yang nonton, tidak masuk berita dan tidak ada yang pernah peduli. Bejo tetap akan beraksi. Karena, ia memang tak butuh penonton, tak butuh media, tak butuh kepedulian. Bahkan, ia justru menyarankan agar tak perlu menanggapi apa yang ia lakukan.

Sambil cengar-cengir, Bejo pelan-pelan membuka kertas yang telah dibawa dari tadi. Dengan suara yang lebih lantang lagi ia berteriak, "Ku persembahkan untaian kata untuk Ki Lurah". Lantas ia membaca puisi :

Wahai, engkau Ki Lurah...
Ditanganmu tatanan mapan kini bubrah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Karena, ketidakbecusanmu wargamu susah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Ditanganmu, anak-anak muda kian berulah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Karena, ketidakmampuanmu wargamu gelisah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Ditanganmu, para kaum remaja lelakunya
bertambah dan smakin parah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Karena, ketidaksanggupanmu semua orang
kehilangan panduan arah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Atas nama desa ini hutang terus kau tambah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Atas nama wargamu alam kau jadikan sapi
perah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Engkau dan para ajudanmu berjamaah
bermewah-mewah.

Wahai, engkau Ki Lurah...
Tahukah engkau wargamu bersusah payah?.

Tiba-tiba terdengar suara, jedddeeeerrrr...!!!!. Suara petir keras menyambar pohon mangga dibelakang rumah Bejo. Tentu, Bejo kaget luar biasa. Sangking kagetnya ia langsung meloncat dari atas genteng. Ia turun tanpa menggunakan tangga. "Gedebuk...", Bejo terjatuh karena saat meloncat kakinya salah tumpuan. Dengan cepat ia berdiri dan berlari kedalam rumah. Namun, "gerompyang!!!.... " ia jatuh lagi menabrak lemari kaca. Ia sangat panik dan ketakutan. "Gubraaaakkk...!!!", ternyata ia jatuh lagi tersandung kakinya sendiri. Ia bangun langsung masuk kamar dan pintu kamar ditutup rapat. Bejo pun berselimut ketakutan.

Keesokan harinya, Mbah Saberang yang rumahnya tepat didepan rumah Bejo melihat kejadian itu. Mbah Saberang pun menceritakan tingkah Bejo itu kepada Ki Lurah Tejo. Ki Lurah Tejo dan seluruh perangkat desa pagi itu tertawa terbahak, bahkan riuh terdengar dari Balai Desa karena hal konyol yang dilakukan Bejo.