Aksi-aksi anarkis, kekerasan dan terorisme setidaknya membawa stigma negatif untuk lembaga pendidikan pondok pesantren. Bahkan, merembet lebih luas lagi yaitu agama islam. Sehingga, setiap gerak-geriknya diawasi, dicurigai dan diwaspadai.
Yang terdampak tentu saja bukan hanya pondok pesantren. Orang-orang yang terlibat didalam proses belajar mengajar secara otomatis terkena imbasnya juga. Kyai, ustadz dan santri seolah dituduh sedang menyusun siasat, berkompromi merubuhkan negeri ini. Lalu, setelah rubuh mendirikan negeri dengan konsep khilafah agar lebih syar'iyah.
Selain aksi anarkis, kekerasan dan teror meneror ditengah-tengah masyarakat masih ada, santer terdengar melabeli kaum sarungan -kyai, ustadz dan santri- sebagai orang yang kolot, susah diajak maju dan alergi terhadap perkembangan tekhnologi. Kaum sarungan juga disebut-sebut kelompok yang anti globalisasi. Sehingga, kaum sarungan dikatakan orang-orang yang terbelakang yang meng-eksklusif-kan dirinya mengejar surga dan hanya sibuk mengurusi persiapan kehidupan setelah mati. Kaum sarungan dianggap tidak pernah peduli, acuh serta tidak peka menangkap isu-isu yang tengah terjadi. Mereka mengira kaum sarungan hanya mementingkan belajar ilmu langit daripada ilmu bumi. Maka, kaum sarungan menurut pandangan sebagian orang tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap negeri ini. Pun akhirnya memunculkan keraguan diantara mereka.
Sesungguhnya, stigma negatif dan keragu-raguan mereka terhadap kaum sarungan, dikarenakan ketidaktahuan. Mereka melihat dari sisi kulit luarnya. Tentu, akan sakit perut jika seseorang hanya makan kulitnya. Tidak mencicipi manisnya daging buah mangga. Tak kenal, maka tak sayang, begitu pepatah lama berkata.
Kaum sarungan, baik itu kyai ataupun ustadz selalu menyatakan dan lebih senang mengakui dirinya sebagai santri. Sebab, santri adalah orang yang njegur slulup menyelami samudera keilmuan. Memahami agama bukan hanya berdasarkan teks saja, namun juga berdasarkan konteks. Dari yang tersurat hingga yang tersirat. Sesungguhnya, kyai, ustadz dan santri didalam pesantren sama-sama menempatkan dirinya masing-masing sebagai orang yang tholabul 'ilmi.
Sedang, pesantren sendiri bagi kaum sarungan merupakan wayangane masyarakat. Wadah dimana untuk menggembleng keilmuan dan adab mereka sebelum terjun kemasyarakat. Ia menjadi tempat simulasi terkecil menempa kemandirian, sikap saling menghormati, gotong royong, organisasi dan konsep-konsep sosial yang lainnya. Disitulah kepekaan sosialnya dirangsang. Menyikapi situasi dan kondisi, lantas mencari sebuah solusi.
Hampir tidak mungkin dan peluangnya sangat kecil sekali, jika kaum sarungan tergoda untuk berbuat anarkis dan menjadi teroris. Pun tidak pernah terdengar ada tawuran antar pesantren, seperti tawuran antar sekolah dilembaga pendidikan yang didanai dan dikelola oleh negeri ini. Tawuran saja mereka tidak bisa, apalagi berbuat anarkis. Mereka yang berbuat anarkis dan menjadi teroris yang meneriakkan atas nama agama adalah orang minim dan haus keagamaan, lalu mereka bertemu atau belajar kepada orang yang tidak tepat. Sehingga, mereka kebelinger surga, yang akhirnya saking kebelingernya menggunakan cara instant -yang menurut mereka- untuk mendapatkannya.
Adalah pemahaman yang salah, bila di pesantren dianggap melegalkan pengajaran anarkisme dan terorisme. Jihad fi sabilillah bagi kaum sarungan yaitu menyebarluaskan keilmuan yang mereka miliki dan menebar cinta kasih terhadap sesama. Hablu minallah, hablu minanaas dan hablu min'alam harus bisa mereka seimbangkan.
Kaum sarungan bersifat inklusif. Ini bisa kita ketahui dari semboyannya yaitu, al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”. Mereka akan terus merawat, menjaga dan melestarikan kebaikan-kebaikan yang terlebih dahulu ada. Meski pun begitu mereka pun tidak fanatik, tetap membuka dirinya terhadap hal-hal baru yang baik. Mereka tidak alergi dengan kemajuan teknologi maupun modernitas.
Bisa kita lihat, sekarang kaum sarungan tidak hanya menabuh rebana saja. Mereka juga piawai memetik gitar, menggesek biola, bahkan meniup terompet. Dunia digital pun mereka pelajari. Komputerisasi di lab-lab pesantren seakan tak mau kalah dengan lembaga pendidikan lainnya. Namun, sekencang apa pun badai globalisasi yang terjadi mau tak mau harus diikuti, akan tetapi itu tidak akan merubah dan membuat kaum sarungan kehilangan identitasnya. Jadi, label kolot, susah diajak berubah dan alergi terhadap kemajuan zaman merupakan kesalahan.
Pun kaum sarungan selain mendalami ilmu agama, mereka juga dituntut menjaga akhlakul karimah. Menjunjung tinggi etika ataupun moralitas. Di mana lembaga pendidikan resmi, justru mengabaikan etika moral. Sehingga, wajar saja bila generasi bangsa mengalami degradasi moral.
Mengenai negara islam juga dijawab oleh kaum sarungan. Peringatan hari santri nasional adalah jawabannya. Mereka bangga dan sangat mencintai Indonesia. Sampai titik darah penghabisan pun NKRI harga mati. Mereka termasuk generasi penjaga negeri. Bagaimana mungkin tidak, penduduk Indonesia mayoritas muslim, namun mereka tidak egois menjadikan negeri ini negeri islam. Mereka tetap setia pada kebhenikaan yang tunggal ika. Dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Maka, adanya pondok pesantren dan kaum sarungan eksistensinya sangat masih dibutuhkan diera globalisasi yang sarat dengan kemajuan teknologi. Mereka menjadi titik penyeimbang. Walaupun, sebenarnya keberadaan kaum sarungan terus menerus ingin digerus oleh pihak-pihak tertentu. Mereka tahu, tapi mereka tidak terpancing menanggapi isu-isu negatif. Dan cukuplah hari santri nasional menjadi jawaban bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menenggelamkan kaum sarungan itu menjadi semakin gusar, gelisah dan kepanasan. Karena, kaum sarungan semakin erat dan kokoh persatuannya membela, menjaga dan merawat negeri ini.
Bungo, 27 Oktober 2016
0 Comments
Post a Comment