Picture : internet

Saya tertarik dengan hasil survei Cak Lontong yang disampaikan pada acara Mata Najwa. Cak Lontong menyampaikan bahwa setelah lama mengamati para politisi di negeri jenaka ternyata bisa disimpulkan dalam tiga kriteria, pertama adalah Si Unyil yang sejak dulu tidak pernah berubah dan masih sekolah dasar terus. Layaknya para politisi meskipun era berganti dari orde baru ke era reformasi masih saja ada banyak politisi yang tidak berubah mentalnya dalam melayani masyarakat. Mereka tidak melakukan gebrakan, inovasi dan perbaikan-perbaikan dalam melayani masyarakat. Bahkan, mereka malah menjadi batu sandungan di negeri jenaka.

Lebih lanjut, mental mereka senang mempersulit daripada memberi kemudahan. Mereka masih konsisten menggunakan cara-cara lama dalam melayani masyarakat. Meskipun era berganti tidak berarti orang-orangnya dan cara-caranya ikut berganti. Karakter Si Unyil yang tidak berubah itu sebenarnya baik, kalau mereka konsistennya dan istiqomahnya dalam hal memperjuangkan hak-hak masyarakat. Sayangnya, justru terbalik yaitu mereka konsisten dan istiqomah dalam hal mementingkan diri sendiri dan golongannya.

Kedua, adalah Pak Raden yang selalu ingin dihormati. Masih banyak para politisi dan pejabat-pejabat di negeri ini yang inginnya dihormati. Mereka selalu menyebut dirinya sendiri adalah yang terhormat. Meskipun, belum tentu setuju masyarakat bilang yang terhormat. Kalaupun disebut yang terhormat semestinya masyarakatlah yang pantas menyandangnya, sebab masyarakatlah yang memilih mereka dan bukankah kekuasaan tertinggi di negeri demokrasi yang jenaka tersebut ada ditangan rakyat?.

Salah satu hal yang paling rame sekarang adalah tentang sebuah pasal yang bisa menjerat masyarakat, jika mereka merasa sudah direndahkan marwahnya. Masyarakat dipaksa untuk tunduk dan hanya boleh menganggukan kepala saja atas apa yang mereka lakukan. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kata tidak setuju dan tidak boleh sedikit pun ruang opini maupun pendapat yang berseberangan dengan mereka.

Meskipun, mereka sekarang bilang kritik boleh, asal berdasarkan dengan data dan fakta. Padahal, banyak masyarakat kita yang jauh dari informasi. Terkadang kritikan itu lahir tidak hanya berdasarkan data dan fakta semata. Ada masyarakat yang mengkritik didasari curahan hati dan apa yang dirasa, karena data dan fakta bisa saja dengan mudah dimanipulasi sedemikian rupa. Sedang, suara nurani rakyat dan apa yang dirasakan tidak bisa dimanipulasi. Mereka akan berteriak, ketika ingin berteriak. Mereka mungkin bisa sampai tahap ekstrem menggunakan kata-kata kasar karena yang duduk disana selalu buta matanya, tuli telinganya dan mati nuraninya meski data dan fakta didepan mata. Maka, atas nama kehormatan para penguasa dan pejabat yang gila kehormatan itu dengan mudah membungkam dan mementahkan semua data dan fakta, sehingga tangan-tangan lemah rakyat, tubuh-tubuh ringkih dengan pakaian lusuhnya harus dihadapkan dengan pasal-pasal yang tak masuk akal yang akhirnya membuat mereka berbaring dibalik jeruji besi tirani.

Baca juga lainnya :


Ketiga, yaitu karakter para penguasa ataupun pejabat yang mirip, bahkan ada yang persis sama dengan Pak Ogah. Mereka ogah bekerja, namun ingin gajinya selangit. Keringat belum keluar sudah minta naik gaji. Mereka yang segala urusannya selalu diukur dengan duit, duit dan duit. Mereka yang mempersulit pelayanan kepada masyarakat jika tidak ada uang pelicin. Segala urusan rakyat adalah proyek yang harus bernilai bisnis. Orientasi keuntungan merupakan lobi-lobi yang perlu di dahulu kan. Tidak peduli walaupun banyak rakyat yang masih dibawah garis sejahtera.

Ah... namanya juga di negeri jenaka. Rakyatnya adem ayem, tiba-tiba mereka ribut, gaduh bahkan berebut merasa paling tahu nasib rakyat. Mereka berteriak-teriak pro rakyat dan akan melayani sepenuhnya. Hem... giliran rakyat ribut menagihnya, eh... mereka diam dan adem ayem merasa tidak terjadi apa-apa.

Ah... namanya juga di negeri jenaka. Rakyat rukun damai, mereka malah saling sikut, saling perang dan saling serang. Gaduh mereka tak berkesudahan. Dari waktu ke waktu selalu muncul gaduh-gaduh baru.

Lucunya yang ribut mereka, yang menyulut pertengkaran mereka, tapi mereka dengan santai dan tak berdosa bilang, "masyarakat harus tenang, masyarakat harus bijak, masyarakat jangan terpancing". Loh?, padahal sebenarnya yang memancing di air keruh mereka dan yang membuat keruh pun mereka. Walaupun, tidak langsung dengan tangan mereka, namun pasukan-pasukan yang di belakangnya lah yang bekerja. Ya... tugas para pasukan adalah menyulut, menyalakan dan mengobarkan api, lalu mereka tampil bak pahlawan yang memadamkan api. Pada akhirnya banyak orang-orang yang simpati dan percaya akan sandiwara murahan sang superhero.

Ah... namanya juga negeri jenaka. Semakin diulik dan ditelisik akan engkau temui hal-hal lucu yang membuatmu terpingkal-pingkal. Dan engkau pasti akan tahu mana Si Unyil, mana Pak Raden dan mana Pak Ogah. Pun daripada menonton Si Unyil, Pak Raden dan Pak Ogah dikancah perpolitikan yang terus ribut, rasanya lebih asyik menonton mereka dalam filmnya yang bisa menghibur kita.

Bungo, 08 Mar 2018