Menurut bapak dosen yang mengatakan bahwa kitab suci, karena belum selesai dan belum tiba. Sek...sek..sek...tak nyeruput kopi sek. Ngene lho cah... Apakah bapak dosen itu benar-benar tidak tahu?. Pura-pura tidak tahu?, atau memang menyembunyikan kebenaran yang ia tahu lewat permain kata dan bahasa?. Apakah bapak dosen ini belum pernah mendengar?. Semestinya bapak dosen ini harus bijak, adil dan mau mengakui. Ada kisah-kisah Nabi, Rasul, orang-orang shaleh, raja-raja dan kaum terdahulu yang ada didalam kitab suci dan semua kisah itu sudah selesai. Ada banjir bandang dizaman Nabi Nuh, adzab untuk kaum Nabi Luth dan Raja Fir'aun mati yang tenggelam dilaut itu sedah selesai dan sudah tiba. Pun kebenarannya bisa diteliti dan dibuktikan. Para sejarawan dan para arkeolog telah menunjukkan bukti-bukti kebenarannya.

Mengapa sebagai bapak dosen itu menafikan kebenaran yang ada didalam kitab suci?. Kenapa yang dilihat hanya bagian kitab suci yang mengulas dan membahas masa yang akan datang?. Padahal, di kitab suci itu lengkap membahas masa lampau, masa kini dan masa depan. Apakah bapak dosen ini menganggap kiamat, hari dimana manusia dibangkitkan, hari pembalasan, surga dan neraka itu sesuatu yang mengada-ada?. Karena, belum selesai dan tiba.

Jika, demikian bapak dosen ini salah besar. Sesuatu yang masih mempunyai ruang kemungkinan terjadi itu tidak bisa serta merta dikatakan sebagai fiksi. Apalagi, jika hal tersebut diyakini pasti terjadi. Sedangkan, fiksi tidak mempunyai ruang kemungkinan bahwa sesuatu itu terjadi dan tidak akan menjadi realitas. Misalnya, beliau mengatakan bahwa siksa kubur dan nikmat kubur itu fiksi dengan alasan belum tiba, maka untuk membuktikannya dan membuat keraguannya hilang boleh dicoba, tentu harus mati terlebih dahulu.

Baca juga :


Setiap hal yang masih mempunyai ruang kemungkinan terjadi tidak boleh langsung dikatakan fiksi, apalagi diperkuat dengan fakta, realitas dan data yang mengarah ke hal tersebut, meskipun masih dalam bentuk gejala ataupun tanda-tanda. Kita tidak bisa mengatakan terhadap semua hal sebagai fiksi, jikalau masih ada ruang kemungkinan terjadi, meskipun itu belum selesai dan belum tiba. Misalnya, anak-anak kecil yang bercita-cita ingin jadi presiden, dokter, pilot dan sebagainya, atau orang tua yang berpesan kepada anaknya untuk berhati-hati dalam berkendara dijalanan supaya tidak terjadi kecelakaan. Hal tersebut tentu tidak boleh dikatakan sebagai fiksi. Lebih tepatnya itu adalah sebuah harapan dan nasehat, karena masih ada ruang kemungkinan terjadi atau tidak terjadi.

Dari pembahasan dan uraian diatas, meskipun saya bukan orang ahli bahasa. Kita tidak bisa gebah uyah mengatakan terhadap semua hal sebagai fiksi. Kita harus hati-hati dan lebih cermat lagi menilai sesuatu itu fiksi atau bukan. Pun kita tidak boleh terjebak hanya pada kata imajinasi, belum selesai atau belum tiba. Pengertian fiksi secara tuntas telah dijelaskan secara bahasa dan itu sudah selesai.

Bila, secara bahasa saja pendapat yang mengatakan kitab suci itu fiksi sudah dapat digugurkan. Apalagi, jika pendapat tersebut kemudian dibantah dengan dalil agama, atau bisa juga dengan cara penelitian-penelitian yang bisa membuktikan bahwa kitab suci itu bukanlah fiksi. Dan apakah yang berpendapat bahwa kitab suci itu fiksi sudah melakukan penelitian?, serta telah membuktikan dengan fakta dan data yang mendukung pendapatnya?. Atau?, pendapat itu hanya berdasarkan ego pribadi yang ingin tampil beda dengan modal mempermainkan kata-kata?. Yang jelas bagi yang punya pendapat bahwa kitab suci itu fiksi harus membuktikannya secara ilmiah dan bukan sekedar beretorika belaka. Bagi saya sepenuhnya mengimani bahwa kitab suci itu bukanlah fiksi.

Bungo, 22 April 2018