Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Sejatinya politik itu memang baik dan menurut sebagian orang politik itu suci. Politik merupakan cara seseorang meraih kekuasaan atau sebuah kepentingan. Permasalahannya adalah bagaimana proses dan cara meraih kemenangan untuk meraih kekuasaan tersebut. Setelah, berhasil menyingkirkan lawannya dan berkuasa, bagaimana para politikus menggunakan kuasanya?.
Politik itu baik, suci dan putih. Namun, tak sedikit dari para politikus membusukkan nama politik yang membuat rakyat semakin mual mendengar bualan mereka. Tingkah lucu dan kekanak-kanakan terus mereka peragakan. Tak sedikit dari mereka yang tingkahnya gemesin.
Baca juga :
Aktor-aktor politikus kita masih senang meraih kekuasaan dengan strategi menjatuhkan lawan tanpa ampun. Semua hal buruk lawan diangkat ke permukaan, aroma busuk lawan dihembuskan, bahkan fitnah terkadang mendominasi untuk menutupi prestasi lawan politiknya. Kemenangan adalah harga mutlak, entah bagaimana pun cara meraihnya?. Kebencian terhadap lawan politik terus menerus disuguhkan dan disajikan se-apik mungkin. Tak peduli cara yang mereka tempuh memecah belah, menimbulkan pertikaian, umpatan serta makian. Semakin, banyak yang bertengkar, caci dan maki antara rakyat terhadap satu sama lainnya, itu tanda upaya framing berhasil. Lantas, para politikus busuk dengan strategi tengiknya itu akan tertawa lebar, sebab upaya mereka berhasil yaitu menggambarkan jagonya adalah superhero tanpa cacat cela, dan lawannya merupakan musuh yang patut dicela.
Upaya dan usaha untuk menumbuhkan kecintaan kepada jagoannya dan kebenciaan kepada lawannya berjalan berdampingan, bersamaan dan selaras itulah hasil dari framing. Sehingga, jika seseorang telah jatuh hati, menunjukkan kencintaan, maka saat itu pula tumbuh kebenciaan yang mendarah daging dalam dirinya. Apakah ini cinta buta?, atau fanatik?. Apa ini kebencian yang menyulut dan membakar habis hati serta pikiran kita?. Sehingga, kita mudah mengumpat, memaki, bertikai dan mengolok-olok sesama saudara sendiri, karena hati dan pikiran kita dibakar habis oleh api kebencian.
Sadarkah kita?, kita adalah target yang dijadikan korban untuk sebuah kata yang namanya kekuasaan?. Upaya framing itu memang senyap, secara pelan dan perlahan. Tanda kita sudah jadi korban framing politik yaitu ketika diri kita mudah memaki, merasa benar sendiri, menuding mereka yang berbeda pandangan politik, bahkan memusuhi sesama saudara sendiri. Saat diri kita mulai meng-agung-agungkan, disisi lain kita memaki habis-habisan dan mencela dengan sedemikian rupa, maka saat itulah politikus busuk dengan strategi tengiknya itu akan tertawa dan terpingkal-pingkal melihat dan menonton kita saling bertengkar.
Tetaplah waras dalam pilihan, tak perlu menyanjung tinggi-tinggi, tak perlu juga membenci setengah mati. Pilihlah jagoan kita masing-masing berdasarkan akal sehat bukan berdasar tipu muslihat. Pilih jagoan kita tanpa perlu menjelekkan, memaki dan memfitnah. Jangan sampai kita menjadi korban politik yang membuat kita saling curiga, penuh benci, kehilangan nurani dan akal sehat. Kita bersaudara, meski berbeda.
Jika, kita masih tetap tak menganggap bahwa kegaduhan yang terjadi adalah bukti framing politik itu ada dan kitalah korbannya yang cinta buta serta kebencian yang sedemikian menyesakkan dada, itulah tandanya. Namun, bila kita tetap saja tak percaya, padahal kebencian yang kita tanam begitu menusuk dada dan kecintaan telah merasuki hati itu kita anggap murni dari dalam diri, itu pertanda framing telah benar-benar berhasil menguasai diri kita. Karena, saat kita sudah terkena framing, pada saat itulah kita menjadi alat, kepanjangan tangan dan robot yang siap menyebar dan menebar kabar-kabar yang hanya menguntungkan jagoan kita dan menjatuhkan musuh jagoan kita. Paling penting dari keuntungan framing adalah menghemat anggaran kampanye, karena setiap orang yang sudah ter-framing akan dengan suka rela mengampanyekan jagoannya, kapan pun dan dimana pun.
Cukup kambing, sapi dan unta saja yang jadi hewan Qurban di hari raya Idul Adha ini. Kita jangan jadi ikut korban framing politik tengik. Semoga, di hari raya Idul Adha ini meskipun belum bisa menyembelih hewan qurban, kita bisa menyembelih sifat-sifat hewan dalam diri, termasuk menyembelih kebencian, caci maki dan dengki.
Tetaplah waras dalam pilihan.
Tak perlu maki-makian,
hanya untuk membela sang jagoan.
Salinglah memeluk, merangkul dalam perbedaan,
untuk Indonesia beradab dalam peradaban.
Bungo, 22 Agustus 2018
0 Comments
Post a Comment