Kejengahan nuansa pemilu sedikit demi sedikit mulai dirasakan sebagian orang. Mereka mulai bosan dengan para peserta pemilu, baik kepada calon pejabat, partai-partai pengusung bahkan siaran televisi tak luput membahas dan menampilkan kejengahan yang sama.
Ketika kita berseluncur di dunia maya terutama sosial media, kejegahan itu pun muncul dengan narasi-narasi yang persis sama. Tak hanya di dunia maya, namun di dunia nyata juga membahas tema-tema yang serupa, mulai dari obrolan warung kopi, pasar, perkantoran dan disemua sudutnya menciptakan ruang diskusi dan perdebatan-perdebatan sengit.
Jujur, rasanya ingin menepi dari persoalan-persoalan yang akhir-akhir ini terjadi. Menutup mata dan telinga, agar tak melihat serta mendengar ocehan-ocehan dari orang yang selalu sibuk menilai diri sendiri dan jagoannya dengan sudut pandang yang masih hitam putih. Bila, ditarik kesimpulan dari perdebatan-perdebatan dari kedua belah kubu yang ada hanya kekurangan dan kelemahan berdasarkan persepsinya sendiri-sendiri.
Kejengahan di tahun politik yang akhir-akhir ini dipertontonkan, justru membuat ragu. Sehingga, kadang terbesit dalam hati untuk tidak memilih alias golput. Nurani dari hari ke hari terombang-ambing setelah debat pertama purna. Debat yang semestinya bisa menyakinkan rakyat, malah terjadi sebaliknya.
Apakah kita sebagai rakyat boleh golput?, tidak menggunakan hak suaranya. Tentu, jawabannya tidak boleh golput. Mengapa?. Meski sebagai rakyat dalam keadaan delima untuk memilih siapa yang pantas atau menganggap bahwa sebenarnya ragu diantara mereka atau merasa tidak yakin diantara mereka tidak ada yang pas dihati, sebagai rakyat tetap berkewajiban memilih.
Mengapa rakyat berkewajiban memilih?, padahal nuraninya tak pernah ada rasa yang pas diatara mereka yang memimpin?. Sebab, lewat pemilulah, melalui suara rakyatlah arah perubahan bangsa bisa diperjuangkan dan terealisasikan. Jika, rakyat jengah dengan segala kondisi yang ada, maka pilih salah satu diantara mereka agar memperbaiki kondisi yang ada.
Ah... tapi, kenyataannya setiap pergantian pemimpin berkali-kali tetap saja sama. Nasib orang-orang pinggiran tetap terpinggir. Masih banyak hal-hal lain juga yang tidak punya dampak apa-apa. Petani akan tetap saja jadi petani.
Tak apa?, meski rakyat punya harapan besar saat datang ke tempat pemungutan suara yang setiap lima tahun sekali terselenggara. Tapi, kenyataannya tak memberi kemajuan dan dampak apa-apa. Meski begitu, meski sering kali rakyat kecewa, tetap berkewajiban memilih agar ruang perubahan tercipta.
Jangan mengeluh dengan keaadaan. Jangan ngomel-ngomel menyalahkan pemerintah. Jangan berteriak-teriak hidup semakin sulit dan harga-harga melejit. Enggak perlu bawel dengan segala situasi dan keadaan.
Jangan berharap bangsa ini jadi lebih baik, jikalau rakyat enggan melakukan perubahan dan berjuang. Maka, gunakan hak suara kita. Pilihlah sesuai dengan nurani sendiri. Jangan golput. Sebab, dengan memberikan suara, kita berarti turut berjuang dan bersama-sama berusaha untuk arah perubahan bangsa yang lebih lagi.
Ketika, kita memilih golput, maka saat itulah kita memilih berhenti berjuang dan berusaha. Ingatlah, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
Bungo, 23 Januari 2019
0 Comments
Post a Comment