Sumber photo : unsplash.com


Gonjang ganjing negeri ini, saat pandemi belum usai. Duka atas jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 masih menyelemuti. Musibah tanah longsor tak kalah menyayat hati. Datang lagi kabar gempa berkekuatan 6,2 magnitudo mengoncang Sulawesi. Bersamaan dengan itu di Kalimantan tak kalah memprihatinkan banjir besar melanda lagi. Belum sempat semua ditangani giliran gunung Semeru erupsi. Begitu pula gunung merapi.

Selain peristiwa diatas masih ada hal yang memprihatikan lagi. Bagaimana rentetan peristiwa tokoh-tokoh agama yang meninggal setiap hari silih berganti. Ucapan duka setiap hari di lini masa membanjiri. Duh, sebenarnya apa yang terjadi ?. Pesan apa yang mampu kita tangkap dari setiap peristiwa yang terjadi?.
 
Mengingat itu semua, terasa teramat kecilnya kita sebagai manusia. Sehebat apa pun teknologi, secanggih apa pun peralatan mitigasi bencana dan setinggi apa pun derajat kita sebagai manusia, semua tidak ada arti. Sehebat-hebatnya, masih ada yang Maha Hebat. Secanggih-canggihnya, masih ada yang Maha Canggih. Setinggi-tingginya, masih ada yang Maha Tinggi. Bila, Tuhan sudah menghendaki, pasti semua akan terjadi.


Perkara bencana alam, sebagai manusia hanya bisa berusaha. Sebisa-bisa mungkin meminimalisir. Entah itu dengan menggunakan peralatan canggih yang bisa mendeteksi dan memberi peringatan dini. Atau melalui cara antisipatif yaitu mengendalikan prilaku manusia yang cendrung serakah, mengeksploitasi alam dan merusaknya demi kepentingan sesaat.

Terkait musibah kecelakaan pesawat atau transportasi, semoga saja manusia mampu membuat transportasi dengan tingkat keamanan super maksimum. Meski, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih, manusia hanya bisa berusaha yang terbaik.

Mengenai tokoh-tokoh agama yang satu persatu pergi meninggalkan kita, betapa sedihnya diri kita. Bersamanya ilmu juga ikut diangkat. Setelah mereka pergi, kita baru merasa kehilangan, baru menyadari dan menyesali. Dulu, semasa beliau-beliau hidup kita tidak menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Bak goro-goro dalam pewayangan hal ini telah disinggung yaitu kurang lebih seperti ini, 

"Goro-goro......
(Gara-gara)

Goro-goro jaman kala bendu
(Gara-gara zaman edan)
Wulangane agama ora digugu
(Ajaran agama tidak di percaya)

Sing bener dianggep kliru
(Yang benar dianggap keliru)
Sing salah malah ditiru
(Yang salah malah ditiru)

Bocah sekolah ora gelem sinau
(Anak sekolah tidak mau belajar)
Yen dituturi malah nesu
(Kalau dinasehati malah marah)
Bareng ora lulus ngantemi guru
(Setelah tidak lulus melempari guru)

Pancen prawan saiki ayu-ayu
(Memang perawan sekarang cantik-cantik)
Ana sing duwur tor kuru
(Ada yang tinggi lagi kurus)
Ana sing cendek tor lemu
(Ada yang pendek lagi gemuk)
Sayange sethitek senengane mung pamer pupu
(Sayangnya sedikit-sedikit sukanya hanya pamer paha)".

Mungkin, faktor lain dari semua kejadian ini adalah hasil dari perbuatan kita sebagai manusia. Dimana kita lalai terhadap norma-norma agama, bangga berbuat dosa meskipun salah, menghardik mereka yang berbuat benar, sebagai pelajar atau santri hanya sekedar formalitas yang tujuannya tidak lain adalah kepentingan dunia. Sehingga pelajar atau santri tak lagi punya adap kepada gurunya. Belum lagi hanya kerena harta sebagian dari kita rela menjual diri dengan dalih motif ekonomi.

Maka, melalui semua peristiwa ini Tuhan memberi peringatan pada diri kita agar tidak terlena pada dunia semata. Yang sedang memimpin agar tidak merasa paling berkuasa, yang punya jabatan tidak akan selamanya diemban, yang hebat dalam membuat teknologi tak perlu jumawa, yang punya kemewahan itu hanyalah titipan, yang berilmu harus terus mengajarkannya, yang mencari ilmu agar tidak lelah terus belajar, yang tidak punya apa-apa tidak perlu kecewa, apalagi menghalalkan segala cara, semua dimata Tuhan sama saja, yang membedakan hanyalah amal saja.

Setelah melihat semua kenyataan yang ada, mulailah merenung. Kita raba-raba kembali perbuatan kita. Adakah yang salah?. Kita yang terlena dengan ambisi duniawi, seolah abadi. Padahal, maut terus mengintai. Kita lupa, apa yang kita tabur, akan kita tuai. Apa yang perbuat harus kita pertanggung jawabkan.

Ini merupakan pelajaran yang teramat berharga bagi kita yang masih diberikan kesempatan untuk sejenak menikmati kehidupan duniawi yang sementara lagi fana ini. Mereka yang mendahului kita adalah orang-orang yang terbaik yang juga diberikan kesempatan mengajarkan kepada kita yang tinggal didunia ini agar senantiasa mengingat sejatinya manusia adalah makhluk lemah yang tak berdaya di hadapan Yang Maha Kuasa.

Oleh sebab itu, kita yang masih bisa menghirup segarnya udara tidak terlena duniawi, berpegang teguh pada ajaran agama yang kita yakini, tidak merasa benar sendiri, tidak bangga pada perbuatan salah dan dosa yang selama ini kita yakini berlindung dibawah nama hak asasi manusia.

Pun kita harus sungguh-sungguh belajar pada guru-guru, bukan hanya bab duniawi, tapi bab ukhrawi dan bab adap juga. Bila, guru-guru kita meninggal, setidaknya telah mewariskan ilmunya kepada kita, meskipun yang kita serap masih jauh lebih sedikit. Seperi, kita baru mendapatkan setetes air dari luasnya samudra.

Dan, meskipun kita tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesenangan dunia. Tidak rakus ingin menggenggam dunia ini. Ingin menang sendiri dan berbuat semena-mena.

Maka, jangan tanyakan pada Tuhan, mengapa musibah dan bencana ini terjadi?. Tapi, tanyakan pada diri kita masing-masing, sudah benarkah perbuatan kita selama ini?. Sehingga, bencana dan musibah ini terjadi?. Pun jikalau kita sudah berbuat baik namun bencana dan musibah terjadi, itu merupakan ujian dan cobaan kepada kita. Bahwa apa pun yang selama ini kita banggakan, kita cintai dan kita elu-elukan pada akhirnya akan pergi, hilang dan hancur lebur. Sebab, dunia ini fana.

Semoga bangsa ini diberikan kekuatan menghadapi musibah dan bencana yang datang bertubi-tubi. Turut berduka bagi mereka yang terdampak dan turut berbela sungkawa bagi mereka yang ditinggalkan. 

Bungo, 17 Januari 2021