Persoalan ditengah-tengah kehidupan saat ini menunjukkan gejala yang sangat meresahkan. Memunculkan rasa khawatir akan perpecahan. Masing-masing orang berebut serpihan kebenaran. Antara satu dengan yang lainnya saling hina, saling menjatuhkan dan salah menyalahkan. Debat kusir tidak bisa dihindari. Perdebatan yang terkadang membuat orang yang melihatnya ikut naik darah. Sehingga, opini masyarakat pun terpecah belah dan terkotak-kotakan.

Like and dislike menjadi sebuah dasar yang menentukan sikap seseorang. Perbedaan pandangan yang seharusnya bisa dirangkai menjadi satu kesatuan yang indah malah mencabik-cabik persatuan, entah itu persatuan sebagai saudara sebangsa, saudara dalam agama dan saudara sesama manusia. Nyatanya sudut pandangan seseorang bukannya dihargai dan dihormati, alih-alih dihargai atau dihormati?, justru di bully.

Pada corong-corong media, kita dengan mudah menonton dari satu channel ke channel lainnya yang menyajikan perdebatan-perdebatan setiap hari. Tak puas di corong media, perdebatan pun dilanjutkan di media sosial. Negeri ini terasa berisik. Tokoh-tokoh dagelan politik yang penuh intrik. Sandiwara-sandiwara yang diperankan kian jijik. Perdebatan-perdebatan yang tampaknya membela hak-hak kawulo alit tidaklah lebih sebuah adegan rekayasa. Mereka berdebat sejatinya untuk kepentingannya sendiri dan golongannya, bukan untuk kawulo alit.

Demi kepentingan kuasa, mereka lupa cita-cita bangsa. Apa pun dalih dan kepentingannya, mereka tega membohongi rakyatnya. Rakyat dipecah belah baik itu melalui  isu agama ataupun ideologi bangsa. Pandangan rakyat terhadap calon wakilnya diburamkan. Nurani rakyat dikeruhkan dan tidak jernih lagi dalam memilih. Bobrok dilukiskan dengan begitu indah. Kebaikan ditampilkan sebagai kebobrokan. Semua terbalik, sehingga rakyat sulit memilih yang terbaik. Pemenang yang melenggang memegang tampuk penguasa. Setelahnya, mereka merampok hak-hak yang semestinya untuk rakyat jelata. Mereka tega merampas hak yang seharusnya untuk Kawulo alit.

Baca juga :



Para aktor politik selalu pura-pura baik, seolah dekat dengan rakyat dan seakan niatnya tulus mengabdikan diri untuk ibu pertiwi. Namun, kenyataannya semuanya hanyalah intrik. Diam-diam diantara mereka masih ada saja yang mencuri anggaran negara. Entah sampai kapan para aktor politik di negeri ini bisa berubah memikirkan rakyatnya?. Entah sampai kapan mereka sungguh-sungguh tulus mengabdi?. Entah sampai kapan cara-cara licik digunakan meraih kuasa?. Entah sampai kapan mereka bersembunyi dibalik dogma-dogma agama guna meraih kursi?.

Era sekarang yang semua informasi dapat dengan mudah didapatkan lewat sosial media. Sosial media yang tujuan awalnya sebagai perekat terhadap sesama manusia, terlebih-lebih saudara. Kenyataannya justru sosial media memecah belah dan didalamnya tersebar berbagai informasi yang mana kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Sayangnya, kita lebih memilih percaya begitu saja, tanpa berpikir panjang. Dampaknya kita bisa berseberangan, bertengkar dan mengamuk kepada saudara sendiri.

Sisa-sisa kebencian itu masih terus menyala, meskipun pesta demokrasi telah usai sekian lama. Api kebencian tak kunjung jua padam. Nyala semakin membara. Memang apinya tak tampak, tapi itu seperti sekam yang dibakar. Api dalam sekam memang tak tampak mata, saat kau injak maka seluruh tubuh akan merasakan panas terbakar.  Jangan sesekali remehkan api dalam sekam, api itu bisa merembet membakar yang lainnya juga.

Hay... Engkau yang menyalakan api, kemana engkau lari?. Setelah engkau mendompleng isu sara, menyebar kebencian dan menebar permusuhan terhadap sesama hanya untuk kepentingan kemenangan, lalu dimana engkau sembunyi?. Kini cermin telah retak, apakah engkau masih mengelak?. Engkau bisa menyalakan api, tapi engkau tak bisa memadamkannya.

Sisa-sisa kebencian yang tak kunjung padam akan memecah belah persatuan. Membuat orang-orang saling caci maki, hujat menghujat. Bahkan, soal yang serius pun dibuat guyonan. Guyonan SARA tepatnya. Soal isu SARA  pun dijadikan bahan olok-olokan. Hal-hal yang sensitif yang bisa menyinggung agama tertentu, ras tertentu dan suku tertentu seharusnya mampu kita jaga. Namun, akhir-akhir ini justru terus bermunculan para pencaci dan pembenci.

Saudara?, masihkah kita saudara?. Saudara dalam berbangsa dan bernegara, meskipun latar belakang kita berbeda. Secara tak sadar betapa rajin nya kita mencaci saudara sendiri. Emosi berada di barisan terdepan dalam menanggapi masalah. Marah-marah. Lost control terhadap diri sendiri. Sehingga, caci maki, sumpah serapah, kata-kata kasar dan kata-kata kotor meluncur sedemikian derasnya keluar dari mulut. Kehilangan kontrol emosi pada diri membuat kita tak bisa menahan kata. Emosi kemarahan membutakan mata, menghitamkan hati dan menulikan telinga. Oleh karena itu akal kita tak mampu memfilter mana yang pantas, mana yang tidak pantas, baik dan buruk.

Betapa ngerinya virus kebencian jika dibiarkan. Ia menyebar dan menular lewat kecanggihan teknologi yaitu sosial media. Pencegahan untuk virus kebencian begitu sulit diupayakan.  Sedang, virus kebencian itu sendiri menyebar dengan begitu cepat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berbagai upaya telah diupayakan untuk menangkal virus kebencian. Semua orang tahu bahwa virus kebencian itu bisa merenggut nyawa seseorang, bahkan menghancurkan sebuah bangsa.

Lantas siapakah yang seharusnya paling bertanggung jawab akan hal ini?. Siapa pula yang bisa mengakhiri kebencian yang tengah melanda negeri ini?. Adakah para pemburu kuasa?, yang sengaja menunggangi isu SARA. Tidak, para pemburu kuasa bilang bukan mereka yang menyulut api kebencian. Pun untuk menutupi cara-caranya yang licik dan licin, mereka pandai bersembunyi dibelakang kebencian dengan menggunakan topeng kearifan yang sesungguhnya semu belaka.

Jika, sudah demikian adanya jangan harapkan mereka untuk memadamkan api kebencian. Andai mereka ikut memadamkan pun bukan dengan air, namun justru menyiram apinya dengan bensin. Sungguh, mereka para pemburu kuasa akan berpesta dan bersuka ria ketika lawannya berhasil terbakar serta hangus terpanggang menjadi abu karena tersulut oleh api kebencian.

Tentu yang bisa mengakhiri kebencian yang melanda negeri ini adalah dimulai diri kita sendiri. Seberapa besar komitmen diri kita untuk tidak ikut-ikutan membenci. Seberapa mampu kita memfilter berita-berita yang berseliweran. Apakah kita dengan begitu gampangnya langsung percaya?. Ya... di zaman now kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapi dan menanggapi informasi yang bertebaran di dunia maya.

Kita tidaklah pantas sikap saling membenci, memaki dan menghina saudara kita sendiri. Jika, kita memang bersaudara, maka seharusnya, semestinya... tidak ada setitik pun benci, walaupun masing-masing memiliki pandangan, suku, ras dan agama yang berbeda. Ah... tapi, masihkah kita saudara?.

Bungo, 12 Januari 2018