Peristiwa siswa yang memukuli gurunya, sehingga sang guru harus kehilangan nyawanya. Kemudian, seorang mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning kepada pemimpin negara ini bila ditarik garis lurus keduanya mempunyai persamaan yang sama. Keduanya, merupakan potret kegagalan dalam dunia pendidikan. Dimana pendidikan di negeri ini cendrung hanya mengedepankan kecerdasan logika semata. Semua diukur beradasarkan angka-angka.
Dari kedua peristiwa tersebut tentu kita bisa menarik kesimpulan bahwa etika atau akhlak di kesampingkan oleh para pelaku. Mungkin tidak hanya para pelaku, tetapi bisa juga anak-anak sekarang, bisa juga orang di keluarga kita, telah melupakan adab, etika, sopan santun, akhlak atau apapun itu namanya, tidak benar-benar digenggam erat. Mungkin orang tua tidak sempat mengajarkan anak-anaknya mengenai akhlak karena terlalu sibuk bekerja, disekolah guru-guru pun hanya sekilas memberi pengajaran tentang akhlak.
Pembelajaran mengenai akhlak disekolah-sekolah mendapatkan jam pelajaran yang sempit. Tuntutan kepada para siswa hanya mengenai kecerdasan logika. Padahal, dalam diri manusia ada tiga hal yang seharusnya dipupuk yaitu intelektual quatum, emosional quantum dan spritual quantum.
Sedangkan, pendidikan di negeri ini baru sebatas intelektual quantum saja. Kecerdasan-kecerdasan logika yang diajarkan, dituntut dan terus menerus setiap harinya di jejali kepada para siswa. Bagi siswa yang intelektual quantum ( IQ ) tidak sesuai dengan harapan, maka akan diberi nilai yang buruk dan tentu saja penilaian buruk lainnya turut melekat dalam diri siswa tersebut.
Bukan maksud sedang ingin menyalahkan para orang tua ataupun guru-guru. Akan tetapi, ada sesuatu yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan di negeri ini. Siswa yang memukul gurunya, sehingga gurunya kehilangan nyawa dan mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning kepada pemimpin negara adalah teguran bahwa unggah-ungguh dinegeri sudah kian tirkikis dan mendekati runtuh.
Pun juga bukan bermaksud sedang membela pemimpin negara. Bukan, bukan untuk membela. Bila, saya tidak setuju dengan hal itu bukan berarti cebongers, bukan pula pemuja dan bukan jua mencinta. Ada yang tidak setuju dengan perilaku mahasiswa tersebut dituduh sebagai cebongers yang bila junjungannya dikiritisi pada kepanasan, tidak terima dan emosian. Prasangka itu salah, jelas-jelas salah. Mereka yang tak setuju sekedar mengingatkan kepada mahasiswa yang melakukan hal itu bahwa semuanya ada etikanya, unggah-ungguhnya dan tata caranya. Jika, tidak suka pada pemimpin negara ini, hormatilah ia sebagai orang tua. Dan bagaimana adabnya anak muda kepada yang lebih tua?, tentu sebagai seorang yang terpelajar, sebagai mahasiswa tahu bagaimana adabnya.
Sedang siswa yang tega melakukan hal yang membuat gurunya kehilangan nyawa, karena ia tak sanggup mengontrol emosi dalam dirinya. Matanya gelap dikuasai emosi. Darahnya mendidih tak sanggup menahan panasnya emosi. Pada akhirnya siswa itu lost control dan sisi emosional terlanjur menguasai hati dan pikirannya. Sehingga, etika, adab, sopan santun akhlak atau yang disebut unggah-ungguh runtuh dikalahkan emosinya.
Siswa yang menganiaya guru, mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning, anak yang melawan orang tuanya dan anak muda yang kurang ajar pada orang tua itu bisa minim terjadi atau bahkan tidak akan terjadi, jika pembelajaran mengenai emosional quantum dan spiritual quantum mendapatkan tempat di sekolah-sekolah. Tentu, kedua hal itu juga turut disertakan sebagai penilaian mendampingi pembelajaran intelektual quantum. Apakah seorang siswa ataupun seorang mahasiswa itu berhasil tidaknya dalam menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan disekolah?.
Seorang yang cerdas secara intelektualnya bisa saja bertindak nekat jika dirinya tak bisa mengelola emosionalnya. Karena, seorang yang cerdas secara logika, belum tentu ia juga cerdas mengelola emosinya. Seorang yang cerdas logika dan emosinya, bisa saja ia melakukan hal-hal negatif, ketika dirinya tidak memiliki kecerdasan spritual. Bagai orang buta yang berjalan diatas bumi tanpa menggunakan tongkat. Sisi spritual atau sisi keagamaan diperlukan oleh seorang dalam dirinya, agar tahu apakah hal itu baik atau buruk?.
Dalam hal ini siswa yang tega melakukan aniaya terhadap gurunya jelas salah. Hanya gara-gara dicoret pipinya sampai berbuat seperti itu. Jika, tidak terima seharusnya tak perlu melakukan hal itu. Ah...tapi kalau siswa itu telah dibekali akhlak, adab, etika, unggah-ungguh atau sopan santun tentu ia mampu mengontrol emosinya. Apalagi, jika pemahaman keagamaan bagus, pasti siswa itu tidak akan mungkin punya keberanian melakukan hal tersebut. Bahkan, walaupun ia ditegur, dimarahi atau dipukul oleh gurunya seperti siswa-siswa zaman dulu karena kenakalannya pasti akan menundukkan kepala dan tidak satu kata pun berani membantah.
Sama halnya seorang mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning, tentu dirinya tidak akan melakukan hal itu. Jika, saja dalam dirinya telah mampu menguasai emosi dan pemahaman keagamaannya bagus. Serta, punya dasar-dasar etika, akhlak, sopan santun, adab dan unggah-ungguh yang tertanam dalam dirinya. Karena, hal baik harus juga disampaikan dengan cara yang baik pula. Sebab, hal baik menjadi buruk ketika kita menyampaikannya tidak secara baik-baik.
Bukan maksud sedang ingin menyalahkan para orang tua ataupun guru-guru. Akan tetapi, ada sesuatu yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan di negeri ini. Siswa yang memukul gurunya, sehingga gurunya kehilangan nyawa dan mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning kepada pemimpin negara adalah teguran bahwa unggah-ungguh dinegeri sudah kian tirkikis dan mendekati runtuh.
Pun juga bukan bermaksud sedang membela pemimpin negara. Bukan, bukan untuk membela. Bila, saya tidak setuju dengan hal itu bukan berarti cebongers, bukan pula pemuja dan bukan jua mencinta. Ada yang tidak setuju dengan perilaku mahasiswa tersebut dituduh sebagai cebongers yang bila junjungannya dikiritisi pada kepanasan, tidak terima dan emosian. Prasangka itu salah, jelas-jelas salah. Mereka yang tak setuju sekedar mengingatkan kepada mahasiswa yang melakukan hal itu bahwa semuanya ada etikanya, unggah-ungguhnya dan tata caranya. Jika, tidak suka pada pemimpin negara ini, hormatilah ia sebagai orang tua. Dan bagaimana adabnya anak muda kepada yang lebih tua?, tentu sebagai seorang yang terpelajar, sebagai mahasiswa tahu bagaimana adabnya.
Sedang siswa yang tega melakukan hal yang membuat gurunya kehilangan nyawa, karena ia tak sanggup mengontrol emosi dalam dirinya. Matanya gelap dikuasai emosi. Darahnya mendidih tak sanggup menahan panasnya emosi. Pada akhirnya siswa itu lost control dan sisi emosional terlanjur menguasai hati dan pikirannya. Sehingga, etika, adab, sopan santun akhlak atau yang disebut unggah-ungguh runtuh dikalahkan emosinya.
Siswa yang menganiaya guru, mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning, anak yang melawan orang tuanya dan anak muda yang kurang ajar pada orang tua itu bisa minim terjadi atau bahkan tidak akan terjadi, jika pembelajaran mengenai emosional quantum dan spiritual quantum mendapatkan tempat di sekolah-sekolah. Tentu, kedua hal itu juga turut disertakan sebagai penilaian mendampingi pembelajaran intelektual quantum. Apakah seorang siswa ataupun seorang mahasiswa itu berhasil tidaknya dalam menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan disekolah?.
Seorang yang cerdas secara intelektualnya bisa saja bertindak nekat jika dirinya tak bisa mengelola emosionalnya. Karena, seorang yang cerdas secara logika, belum tentu ia juga cerdas mengelola emosinya. Seorang yang cerdas logika dan emosinya, bisa saja ia melakukan hal-hal negatif, ketika dirinya tidak memiliki kecerdasan spritual. Bagai orang buta yang berjalan diatas bumi tanpa menggunakan tongkat. Sisi spritual atau sisi keagamaan diperlukan oleh seorang dalam dirinya, agar tahu apakah hal itu baik atau buruk?.
Dalam hal ini siswa yang tega melakukan aniaya terhadap gurunya jelas salah. Hanya gara-gara dicoret pipinya sampai berbuat seperti itu. Jika, tidak terima seharusnya tak perlu melakukan hal itu. Ah...tapi kalau siswa itu telah dibekali akhlak, adab, etika, unggah-ungguh atau sopan santun tentu ia mampu mengontrol emosinya. Apalagi, jika pemahaman keagamaan bagus, pasti siswa itu tidak akan mungkin punya keberanian melakukan hal tersebut. Bahkan, walaupun ia ditegur, dimarahi atau dipukul oleh gurunya seperti siswa-siswa zaman dulu karena kenakalannya pasti akan menundukkan kepala dan tidak satu kata pun berani membantah.
Sama halnya seorang mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning, tentu dirinya tidak akan melakukan hal itu. Jika, saja dalam dirinya telah mampu menguasai emosi dan pemahaman keagamaannya bagus. Serta, punya dasar-dasar etika, akhlak, sopan santun, adab dan unggah-ungguh yang tertanam dalam dirinya. Karena, hal baik harus juga disampaikan dengan cara yang baik pula. Sebab, hal baik menjadi buruk ketika kita menyampaikannya tidak secara baik-baik.
![]() |
Seorang mahasiswa yang memberikan kartu kuning untuk Jokowi saat acara Dies Natalis di kampusnya (sumb photo: grid.id) |
Baca juga :
* Mistisnya Bulan Suro
* Mencerca Masa Lalu
* Ke Kanan atau Kiri?
* Jenazah di Tempat Sampah
* Ayat-ayat Pluralitas
* Mencerca Masa Lalu
* Ke Kanan atau Kiri?
* Jenazah di Tempat Sampah
* Ayat-ayat Pluralitas
Seperti, halnya kita ingin membantu orang-orang yang kelaparan, akan tetapi kita meminta bantuan makanan kepada orang-orang dengan cara marah-marah, teriak-teriak dan menggedor-gedor pintu rumah orang dengan sangat keras. Bukannya, kita mendapatkan bantuannya makan untuk orang yang kelaparan, malah kita sendiri yang harus kenyang makan bogem mentah.
Sayang, beribu sayang... dari hari ke hari, bukan hanya tentang kedua peristiwa diatas, akan tetapi banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa sebagian dari kita lupa menjadi manusia yang beradab. Kita juga sering lupa akan ideologi bangsa yang tercantum dalam sila ke-dua pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pun para pejabat bangsa ini tak lagi ingat cita-cita bangsa ini yaitu menjadikan manusia Indonesia beradab. Ini bisa dilihat didunia pendidikan kita, yaitu persoalan etika telah begitu lama absen dari dunia pendidikan, bahkan seolah-olah pembelajaran tentang etika, adab, unggah-ungguh, sopan santun atau akhlak sudah terkena kartu merah di dalam pendidikan negeri ini. Lihat saja mata pelajaran apa yang menjadi prioritas dalam pendidikan negeri ini. Mata pelajaran apa yang dijadikan ukuran seorang siswa itu dikatakan lulus?.
Dunia pendidikan kita terlanjur tergiur dan puas dengan pembelajaran yang hanya mengedepankan intelektual quantum , yang hasilnya adalah lulusan-lulusan yang minim dan miskin akhlak. Orang yang hanya mengandalkan intelektual logikanya semata cendrung mudah stres dan bisa membuatnya gila. Kalaupun, tidak stres atau gila, orang tersebut berani nekat melakukan aksi-aksi gila seperti pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, maling, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau bahkan hanya untuk sebuah kepuasan. Orang yang demikian itu sebenarnya memang sudah gila, meskipun tidak dikatakan gila secara ilmu kesehatan.
Maka, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita mulai berbenah. Tidak abai tentang pentingnya pembelajaran tentang emosional quantum atau pendidikan akhlak dan juga tidak memandang sebelah mata pentingnya pengetahuan mengenai spritual quantum atau pemahaman tentang keagamaan agar orang mampu mengendalikan dan mengenali gejolak batinnya. Semoga, pendidikan di negeri ini tidak melulu tentang intelektual quantum saja, akan tetapi gabungan dari ketiganya yaitu intelektual quantum (IQ), emosional quantum (EQ) dan spiritual quantum (SQ).
"Ah... kamu itu, Jo... Banyak bicara. Gayamu ngomongnya tinggi-tinggi, awas kesampluk lambemu", ujar Sudrun tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Bejo.
Tak kalah dengan Sudrun, si Sontoloyo justru berbuat konyol meniupkan peluit, "prit..prit...Pelanggaran kamu, Jo... saya kasih kartu kuning", kata Sontoloyo sembari mengeluarkan kertas yang sebenarnya warna putih.
"Lha, salahku apa ta?", tanya Bejo heran.
"Salahmu?, lambemu offside..", jawab Sudrun dan Sontoloyo serentak. Dan mereka bertiga pun akhirnya tertawa bersama.
Bungo, 03 Februari 2018
0 Comments
Post a Comment